An essential aspect of creativity is not being afraid to fail. We write only because there are voices within our head that will not be still.
click the 'more' button
DANKE!
more
JOSEPH
Beberapa hari berlalu setelah hari pertama pertemuan para mahasiswa yang tampil untuk pensi kampus mendatang. Sabtu ini, gw bareng Ray ke kampus bareng buat nge-check stage di hall no. 3 disebelah utara kampus. Hari ini memang sengaja kita datang buat latian perdana, yang lain mungkin sudah datang di auditorium, tapi gw ama Ray kepo pengen liat tempat pensi kita nanti. Pas technical meeting pertama kita dikasitau lagunya bebas, dikasih batas waktu max. 30 menit. Wah, memang sengaja buat tebar pesona atau gimana nih ceritanya? Dikasih limit 30 menit, udah berasa artis aja... Sejauh ini grup kecil kita berisikan gw sebagai gitaris utama, Ray sebagai gitaris kedua dan vocalist, Ghazi sebagai drummer plus perkusi, Shel sebagai keyboardist dan backing vocalist, dan Anita sebagai bassist dan backing vocalist juga. Oh, Darwis juga ikut, main saxophone. Kita sejauh ini belum ada latian, dan meeting resmi juga baru sekali. Sampai lah gw ke hall no. 3, dan perjalanan yang cukup memakan waktu membuat gw makin merasa kampus ini seperti sebuah kota.

"Jo, lu udah kepikiran mau main apa gak nanti?" gw ditanya Ray.
"Ehm... gw masih bingung sih..."
"Dikasih 30 menit kita, lagunya gak mungkin cuma dikit..."
"Kan maksimal itu toh? Tiga sampe lima mungkin?"
"Nanti disuruh tambah lagi sama senior... menurut gue sekalian banyak aja."
"Asal niat dan sering latian sih..."
Ketika gw masuk ke hall, terlihatlah rangka-rangka besi raksasa yang sedang dibangun membentuk panggung yang cukup besar. Gila, pikir gw. Tempat ini gede bener, emang mau sebanyak apa yang mau nonton? Segitunya kah?
"Woy... Ini udah kayak mau konser gede-gedan coy..." gw ngomong ke Ray.
"Gue gak nyangka, sumpah." balesnya.
Disekitar rangka panggung tersebut terlihat beragam peralatan lainnya, kursi, AC, Generator, Speaker, dan beragam alat lainnya.

Gila, niat banget nih kampus.
"Kalo gitu kita gak boleh sampe malu-maluin ini mah." kata gw ke Ray
"Oh, ogah deh sampe gagal, malu banget gue..."
"Ya, kita semua juga dong..."
Ditengah-tengah suasana melongo, datanglah Anita, nyamperin kita. Mungkin dia sudah disini daritadi? atau baru sampe?
"Nah, ketemu juga lu pada... Ayo, kayaknya udah pada dateng tuh!"
"Loh, bukannya latian masih setengah jam lagi?"
"Yah, lumayan kan, daripada diem doang, mumpung bisa kenapa tidak?"
Berjalan lah kita menuju auditorium. Sambil jalan, sambil ngobrol.
"Nit, lo nanti mau main lagu apa? Kita dikasih jatah 30 menit tuh..." tanya Ray.
"Wah, belum tau, masih diantara ini sama itu, yang pasti lagunya harus asik dong."
"Dimana-mana kalo manggung lagunya mesti asik kalo kaga ya gak seru dong..." samber gw.
"Yee, kalo lo mah enak Jo, maen apa juga bisa..." bales Anita.
"Ehh, belum tentu, kan lagu gak cuma sebatas itu kale"
"Yasudah, liat aja nanti pas kita udah bareng Ghazi, Shel, sama Darwis."

Duh, kampus ini memang sangat luas, kayaknya buat jalan ke auditorium lama juga ternyata. Untung hari ini suasananya sejuk dan matahari tertutup awan, bukan awan hitam yang mau hujan gitu, kaga. Paling nggak, sembari latian, gw bisa liat-liat kampus lagi.
"Eh, by the way, anak yang kemaren dateng pas lo main... jadi ikutan gak sih...?" Tanya Ray.
"Hmm, gatau juga sih gw, mungkin masih diantara ya dan tidak... atau malah lupa?"
"Kalau beneran ikut, nanti juga nongol paling." Bales Anita.
"Gatau deh, gw gak jago nebak-nebak"
"Menurut gue sih, dia mungkin masih malu-malu."
Iya, kemaren pas kita ngumpul pertama, Sasha dateng dan gak sengaja membanting pintu. Ketika staf pensi dateng jelasin technical gitu, dia juga masih ada. Entah apa yang sedang dipikirkannya saat itu, yang gw liat hanyalah ekspresi bingung pada wajahnya. Dan jam gw sudah menunjukkan waktu jam sepuluh lebih 15 menit, gedung tempat auditorium berada sudah terlihat.

RAYMOND
-Coming Soon-

DARWIS
-Coming Soon-

SASHA
-Coming Soon-

RINJANI
-Coming Soon-
Monday, July 15, 2013 with 0 comments
Di sini, sejam aku duduk di bar ini sendirian. Membunuh waktu senggang yang jauh dari orang tua. Ya, aku kuliah jauh di Jakarta, tempat dimana aku dibesarkan, namun orang tuaku pindah ke Papua setelah aku lulus kuliah. Ayahku bekerja di perusahaan telekomunikasi di sana dan memiliki rumah dan motel di pinggir pantai Raja Ampat. Sudah 3 bulan semenjak aku masuk kuliah, aku tidak menghubungi orang tuaku karena terakhir kali berkomunikasi, kami bertengkar. Aku memang suka bertengkar dengan mereka, dan inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa aku ingin kuliah jauh dari orang tua.
  
Tetesan hujan di luar ruangan yang dingin, mendukung pilunya keheningan hati yang rasanya ingin berteriak “Ah sudahlah, aku benci hidup ini,” ya memang, tantangan hidupku memang berat.
Lonceng pintu bar berbunyi, ku arahkan pandaganku kearah pintu. Masuk seorang pria tampan membawa buku, yang sepertinya aku mengenali buku itu.

“Neng, maap bukunya jatuh saat Neng keluar dari pintu kereta”

Ya, itu buku catatan pelajaran Manajemen keuanganku yang kalau saja pria tersebut tidak menemukannya dan mengembalikannya kepadaku, habislah aku dimarahi oleh Pak Bowo, dosen ter-killer sepanjang zaman.

“Waduh, makasih ya Mas, makasih banget loh. Haduh bodoh banget bisa ga sadar kalau buku ini hilang dari tadi”

“Sama-sama Neng, eh Mbak. Aduh maap ya, bukan bermaksud untuk ngegodain, tapi saya orang Sunda, kebiasaan ngomong Neng kalau ke cewek”

“Ga masalah Mas. Kebetulan saya juga orang Sunda asli kok, cuma besar di Jakarta, tapi saya asli Bandung. Oh iya duduk A’, hehehe panggil Aa aja ya, sesama Sunda kan kita”

“Neng sendiri aja? Maap baru bisa ngebalikin bukunya sekarang, tadi saya ngampus dulu bentar. Kebetulan saya lewat sini, ngeliat Neng dari luar jendela bar hahahaha. Kalau ngga lewat sini, mungkin buku ini saya simpen aja di rumah, lumayan catetannya lengkap hehehe”

“Loh, Aa jurusan Manajemen juga? Kuliah dimana? Masuk tahun berapa?”

“Iya Neng, kebetulan kita sama jurusannya. Saya di Satria Economy University situ, masuk tahun 2013”

“Loh sama persis sama saya loh A’, manajemen, Satria Economy University, masuk tahun 2013 juga. Nama Aa siapa?”

“Robi. Robi William hahahah. Engga deng, saya Robi Sarobi. Nama Neng siapa? Kelas apa di kuliah? Saya kelas Manajemen 3”

“Saya Rinjani Khatulistiwa. Panggil aja Rinjani. Aku kelas Mene 4. Manajemen disingkat mene aja ya!”

“Namanya berat amat Neng, bagus tapi hahahah”

Sehelai uang merah kuhabiskan untuk mentraktir Robi secangkir kopi luwak dan Klappetart CheesyRaspberry sebagai tanda terima kasihku  kepadanya karena sudah mengembalikan buku catatanku, juga mengembalikan mood ceriaku dengan percakapan yang menghabiskan waktu 2 jam ini. Sudah 3 jam aku di bar ini, dengan 2 jam yang menyenangkan.

Hangatnya ruangan sehangat perkenalan baru ini.
with 0 comments
SASHA
Lima detik tanpa pertimbangan apapun akhirnya aku menerobos masuk ke dalam.
BLAM!
Begitu besarnya tenaga yang tanpa sengaja ku kerahkan, pintu kaca itu terbanting membuka, membuat semua orang menghentikan kegiatannya. Mereka menatap ke arahku yang diam tak bergerak, terkejut dengan suara bantingan pintu yang disebabkan ulahku sendiri. Tak lama, tatapan mata mereka berubah dari terkejut menjadi heran. Dan aku hanya bisa tersenyum meringis.
“Sasha……..bukan?” Ditambah lagi satu keterkejutanku. Ada yang mengenaliku di sini? Bagus sekali, hancur sudah harapanku untuk kabur menghilang dan dilupakan oleh saksi perbuatan bodohku ini.
“Hm, iya. Maaf sudah mengganggu, aku hanya penasaran dengan suara—“
“Kesini sebentar!”serunya sambil melambaikan tangannya padaku.
“Oh, tidak, aku baru saja mau pergi—“
“No, tidak, lo nggak boleh pergi,”ia meletakan gitar yang menggantung di bahunya, kemudian berjalan ke arahku dan menarik tanganku,”ayo sini ikut!”
Tidak bisakah aku pergi saja dari sini? Keluhku selama berjalan dengan pasrah saat lelaki ini—entah siapa, tapi kurasa aku pernah melihatnya—menarikku ke kerumunan.
“Teman-teman, kenalin. Ini Sasha,”serunya pada kerumunan yang berjumlah 4 orang tersebut.
“Hai,”jawabku kemudian tersenyum,”maaf aku sudah membuat keributan tadi.”
“Tidak apa-apa. Kenalin, gue Raymond,”seorang lelaki berdiri dan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan,”panggil aja gue Ray. Dan ini Shel, Anita, juga Ghazi”
“Hai, nice to meet you all,”jawabku dengan terus memasang senyumku, menjabat tangan mereka satu persatu.
“Lo main alat music, Sha?”Tanya Ray.
“Hm, aku bisa gitar, sedikit,”jawabku yang perhatiannya teralih pada seorang laki-laki yang duduk menyendiri di sebuah kursi kayu.
Siapa itu?

DARWIS
Pernahkah anda dipaksa keadaan untuk melupakan seseorang yang sesungguhnya anda tidak mau melupakan orang tersebut? Itulah yang aku rasakan sekarang. Ragaku terus kupaksa melupakan Atikah, karena kerinduanku kepada Atikah sangat menyiksa diriku. Keadaan yang sungguh kejam kelana. Di jarak yang sejauh ini pun akau masih saja jatuh cinta padanya. Meskipun sudah datang sosok baru seperti Sasha, tetap saja Atikah tak tergeserkan posisinya di hati ini. Di satu sisi aku harus menerima keadaan bahwa aku dan Atikah sudah terpisah jarak cukup jauh. Tapi aku masih sangat mencintainya. Bagaimana tidak, Atikah masih saja sesekali menari dalam mimpi malamku. Dia sering hadir dalam tanya Seakan menggoda hati yang bertanya-tanya. Kemarin, baru saja kumimpikan dia, dalam mimpiku aku melihatnya masih saja berbalut keindahan. Karya Tuhan paling Indah. Bagiku dia itu Thistle crescent, jenis kupu-kupu yang mungkin paling luas persebarannya dan paling banyak dijumpai seluruh dunia. Kupu-kupu ini hidup di daerah yang terbuka dan terkena cahaya matahari , terutama taman, lapangan dan tanah kosong. Sayapnya berwarna oranye atau merah kecoklatan dengan bercak dan tepian hitam, sementara permukaan bawahnya biasanyaberwarna merah muda dengan corak putih dan hitam. Dalam doaku malam ini, aku hanya bisa berharap dan menyampaikan pesan padanya melalui Tuhan. Semoga kita bertemu lagi suatu saat, entah kapan, dalam atmosfer yang lebih baik, dengan kunang-kunang lebih ceria menemani kita dalam malam yang sepi hanya kita berdua. Jadi, untuk sementara ini kumohon padamu yang ada di sana. Atikah. Please get the hell out of my mind! Di pertemuan kita yang terakhir, sengaja kutinggalkan kau di meja makan itu, saat itu aku menunggu kau menyapaku duluan untuk pertamakalinya. Tapi Nihil. Sekarang aku sadar, bahwa cinta memang banyak bentuknya tapi tak semua bisa bersatu. Tuhan,  titip Atikah ya. Kalau memang dia tulang rusukku, maka pertemukanlah kami suatu saat nanti di suatu tempat dan waktu ang telah kau siapkan untuk kami berdua. Tapi jika bukan, maka petemukanlah au dengan sosok baru yang jauh lebih sempurna darinya, supaya aku bisa melupakannya dengan mudah. Sekali lagi, kutitipkan dia pada-Mu. Terima Kasih.

*********

DUARRR!! Ada suara gaduh yang membuatku terbangun dari lamunan. Tak terasa aku melamun cukup lama. Rupanya ada seorang perempuan yang datang dengan tingkah sedikit mengherankan. Akupun memperhatikannya dengan saksama. Rupanya dia adalah Sasha! Aku dan dia sempat saling tatap menatap ketika ia sedang berkenalan dengan orang-orang musik itu. Akupun akhirnya bergegas bergabung dengan mereka. “Halo teman-teman, namaku Darwis. Senang bisa berkenalan dengan kalian, musikalitas kalian sungguh indah bak burung nuri yang menyanyi di kedinginan kabut pagi.” Sapaku panjang. “Wis, lo bisa main music gak?” Tanya Joseph. “Ya, aku bisa seruling dan saxophone. Apakah kalian mau mengajakku bergabung dalam band kalian? Aku akan dengan senang hati meramaikan dan dan aku bersumpah akan memberi warna berbeda dalam band kalian.”

JOSEPH
Pertunjukan gitar gw pun terpotong ditengah-tengah akibat sebuah gebrakan pintu, yang tidak sengaja dilakukan oleh Sasha yang penasaran dengan musik yang gw mainkan. Dan Sasha pun gw tarik biar bisa gw ajak berkenalan dengan teman-teman gw yang lain. Darwis pun mengenalkan diri setelah dirinya sunyi sejak... Sejak gw sadar kalau ada dia, mungkin. Sejak sedikit perbincangan, tiba-tiba Darwis menawarkan diri untuk masuk kedalam band kami- Gw, Ray, Shel, Ghazi, dan Anita yang bahkan belum berinisiatif untuk membuat band. Bingung pun datang dipikiran kita.

"Lho, wis, sebenernya ini belum mulai band, ini sebenernya karena mau ada perekrutan anak-anak baru untuk manggung di pensi...", kata gw.
"Sebenernya sih, bukan ide yang buruk sih. Kalau kita bikin band , bukan cuma buat pensi, kan asik juga.", bales Ray.
"Beneran mau bikin nih...? Gw sih ayo aja.",
Anita, Shel, dan Ghazi pun ternyata juga tertarik untuk membuat band. Seketika pun jadilah sebuah band kecil yang belum punya nama.

Darwis pun juga dengan senang hati mau ikut, sebenernya dia juga sih yang membuat kita terpikir untuk membuat sebuah band, walau tak sengaja. Sasha masih terlihat ragu-ragu, bukan mau ikut atau tidak, lebih kepada- Apa yang mesti gw ucapin ya? Masih kebingungan didalam ruangan tersebut." Kalaupun beneran bikin band, bawa santai aja ya, kan buat having fun toh.", Perbincangan kami pun terpotong dengan datangnya seorang staf kampus yang mengkoordinir para talenta baru untuk manggung di pensi yang belum punya nama itu. Tanpa kita sadari ternyata waktu sudah menunjukan jam 3 sore. Dan kita pun mendengarkan sang koordinator, dengan Darwis yang keliatan antusias walau belum mendaftar, dan Sasha yang masih dalam keadaan kebingungan. Jam 4 di jam dinding, kita memutuskan untuk latihan perdana pada hari sabtu mendatang, dan kita semua berpisah dari aula lantai 3.

*********

Sambil gw parkir di Labschool untuk jemput si Zoey, Claire & Eri, gw mulai kepikiran, "This might be an excellent opportunity". Bisa aja gw jadi artist/businessman, sesuai jurusan sekaligus passion, bisa saja jadi peluang besar kalau begini. Lalu HP-ku bergetar. "Halu?" "Nii-san, udah sampai mana?" "Lah gw dah parkir di Labschool Ri, lu lagi dimana emang?" "Masih nungguin Zoey Nee-chan, masih diruangan OSIS." "Yaelah ngapain lagi dah tuh anak.". Sambil menunggu, gw kembali melamun, apakah ini bisa jadi kesempatan gw untuk dapat pacar? bisakah I redeem myself for those mistakes all years ago? Are this is my breakthrough moment? and basically, I just spaced out for awhile. tiba-tiba ada bunyi tok-tok-tok, "Kak bukain dong!". Lah, si Claire udah disebelah kiri mobil ternyata, dan gw bukain lah kunci pintu mobil."Loh kok Eri sama Zo ditinggal?" "Kaga, tadi aku dari beda tempat, habis ngambil synthesizer kakak nih, ketinggalan di kelasnya Pak Marco." "Ahiya-iya, dankeschon." Lalu, in the corner of my eye, keliatan lah Eri dan Zoey dari pintu masuk sekolah, finally beres dengan urusan... apapun itu. "Tuuuhh Claire Nee-chan sudah di mobil, payah nih Zoey Nee-chan, beresin dokumen suka kelupaan makanya jadi lama!" "Yaelah! tunggu aja giliran lu entar, entar juga kayak gue palingan." "Sorry saja nih, aku kan ter-organisir, emang Zoey Nee-chan, suka blunder kayak Nii-san." "Eit, jangan bawa nama gw Ri, ntar gw turunin di jalan loh" kata gw sambil nyengir. "Nii-san wa bakadesu!" protes si Eri sambil gw keluar parkiran.

RAYMOND
Gue memulai hari dengan agak bete. Bete kenapa? Karena sekarang giliran Vespa kesayangan gue yang rusak. Jazz bener lagi okelah, sekarang giliran dia. Yowes, udah nasib mau diapain lagi. Akhirnya gue ke kampus naik mobil, sekalian nganterin adek gue sekolah.

"Sar, ayo berangkat!" gue teriak dari mobil.
"Iya ah, sabar dong, santai aja kali."
Dia melenggang santai, sambil menenteng tas Jansport warna biru muda. Serasa berangkat jam 6 pagi, pikir gue.
"Ntar telat loh, tau rasa nanti. Udah jam 6.40!"
"Oke oke, ini udah siap kok." balesnya sambil masuk mobil.
"Yaudah yuk."

Kita berangkat. Pas berhenti lampu merah, dia ngeluarin iPhone-nya, terus senyum-senyum sendiri.

"Siapa tuh? Pacar?" tanya gue sambil melongok ke arah hapenya.
"Bukan siapa-siapa kok," bales dia, mukanya merah.
"Dih, pasti pacar deh."
"Ih biasa aja kali, kayak lu nggak gimana-gimana aja sama Nadia."
"Ya tapi kan.."
"Gausah overprotective deh. Lu yang biasanya udah rese, pasti bisa lebih lagi gara-gara Vespa butut itu," tukasnya pas lampu hijau.
"Eh gausah bawa-bawa Luigi deh."
"Tuh kan, sampe dinamain lagi. Gue jadi heran kenapa Nadia mau sama lu,"
"Itu mah lain lagi tau. Udah ah, siap-siap turun lu. Bentar lagi sampe."
"Iya iya. Bye, thanks for the ride!"
"Dadaah."

Lalu gue pun ke kampus. Pas lagi parkir, baru gue keinget, hari ini ada audisi buat pensi itu. Yah, lumayan padet juga jadwal gue hari ini. Selain itu ada jadwal latian buat drama musikal Komunikasi yang gue ceritain waktu itu. Oh well, let's just face it.

***********************************************

Setelah gue selesai dari kelas(dari jam 8 sampe jam 12 men, lama gila gapake istirahat), karena ngerasa laper, gue pun memutuskan untuk ke kantin. Siang-siang panas gini enaknya makan bakso, pikir gue.

"Mbak Dwi, baksonya satu! Minumnya teh botol," seru gue dari tempat duduk.
"Iya, pake sambel nggak?" jawab Mbak Dwi. Dia adalah orang yang jualan bakso di kantin Komunikasi, dan baksonya itu top abis lah gangerti gue bikinnya pake apa. Lu mesti coba.
"Gausah mbak," bales gue.

Setelah selesai makan dan sholat, gue memutuskan buat ke auditorium tempat gue udah ngedaftar tadi pagi. Di sana udah ada beberapa orang, lalu gue pun kenalan sama mereka. Ada Shel, Anita, dan juga Ghazi. Shel main keyboard, Anita megang bass, dan Ghazi drum.

"Lu pada udah nyoba di depan?" tanya gue.
"Emm, belum tuh, kita sih nungguin stafnya aja," jawab Anita.
"Oh yaudah, gue coba duluan yak kalo gitu."

Lalu gue pun ke depan, duduk di kursi dan bernyanyi sambil memainkan gitar. Not a very new song though. Lantunan The Vow dari Monkey to Millionaire pun memenuhi ruangan. Sembari bermain gue melirik ke ujung ruangan, terlihat ada yang masuk dari pintu kacanya. Itu bukannya anak yang papasan sama gue abis daftar ya? Dan setelah gue selesai, semuapun bertepuk tangan. Lalu kita semua saling mengenalkan diri kepada si anak tadi, yang ternyata bernama Joseph(dipanggil Jo). Setelah ngobrol, Jo pun bilang kenapa yang lain gak nyoba juga, terus akhirnya Anita, Shel, dan Ghazi pun mulai unjuk bakat secara berurutan. Abis itu, tiba giliran dia. Ternyata dia milih gitar listrik. Setelah di-setting dengan ampli segala macem, he started to play. Or was it? It was more like... Something else. Dia main Master of Puppets-nya Metallica. Kita semua terperangah, takjub. Lancar, tajem. Straight A+.

Dan ketika dia masuk bagian solo, mendadak pintu kaca terbuka kencang.

BLAM!

Kita semua kaget, terus bingung. Itu siapa?

"Sasha……..bukan?" tanya Jo. Oh, ternyata dia kenal? Sementara itu yang namanya disebut tampak ingin pergi namun ditahan dan ditarik oleh Jo ke arah kita. Dia minta maaf bikin ribut, dan kita pun saling berkenalan. Ketika tau-tau Sasha melirik ke suatu arah, gue baru nyadar: ada orang di pojokan. Sumpah gue bingung. Kapan munculnya? Kok kita gak nyadar tadi? Oh well. Ternyata namanya Darwis, dia bisa main suling dan saxophone, dan dia straight-up tanpa basa-basi menawarkan diri untuk masuk ke band kita, yang terbentuk setelah dia menawarkan diri. Lalu staf kampus yang ternyata panitia pensi pun dateng, ngejelasin teknis segala macem, dengan Darwis berbinar-binar matanya, dan Sasha dengan tampang ragu-ragu, entah apa yang ada di pikirannya.

***********************************************

Setelah selesai dari latian buat drama musikal, sekitar jam setengah 9 malam, gue pun pulang, terlalu lelah untuk nongkrong lagi. Mungkin gue lupa minum vitamin tadi pagi. Gue nyetir, dan gatau kenapa, malem ini kok agak macet. Oh, ternyata ada kecelakaan dan TKP-nya belum diberesin. Yoweslah. Gue harus ambil jalan lain, jadi muter lumayan jauh ke rumah gue, dan tetep aja macet gatau kenapa. Sambil nunggu jalan lagi, gue ngeliat kiri-kanan jalan. Di kiri ada rumah, dan di kanan gue ada sebuah bar kecil. Dari jendela yang somehow terang banget, keliatan dua orang lagi ngobrol seru, walaupun sekitarnya kosong. They looked happy.

Oh, mobil di depan gue udah jalan.

with 0 comments
RAYMOND
Gue lagi jalan di lorong kampus waktu itu. Itu hari Selasa, sehari sebelum ganti bulan. Tanggal tua, tanggal-tanggal mahasiswa nyeduh mie instan. Walaupun untungnya gue gak sampe segitunya. Gue menuju ke kelas Agama sambil ngobrol dengan teman baik gue, Ryan. Kita berdua sama-sama dari SMA Nusantara, dan udah cukup dekat dari kelas satu dulu.

"Sob, lu dapet peran apa buat drama musikal ntar?" tanya gue.

"Gue cuma jadi stage crew nih, padahal gue pengen banget dapet peran, sekalian deketin si Ami, anak yang cantik itu tuh," keluh Ryan.
Angkatan kita emang lagi dapet tugas bikin pentas seni, sekalian buat kompak-kompakan. Walaupun kayaknya yang drama musikal cuma Komunikasi... Bahkan Sastra cuma drama biasa.
"Ck, gitu aja diributin. Banyak jalan menuju Roma bro, gak cuma satu," bales gue sambil nepok pundak dia.
"Iya gue tau ah elah. Lu mah enak, dapet peran sering muncul."
"Yaa tapi kan gak peran utama, supporting actor doang. By the way, udah ngerjain tugas Pak Juanda?"
"Belom, besok kan deadline-nya?"
"Hari ini, bego."
"Anj--demiapa?"
"Iya, jam 7 maleman kayaknya. Dia bilangnya ba'da Isya coba..."
"Oh yaudah, berarti gue kerjain abis makan siang deh."
"Yeuu, yaudah deh, terserah lu aja."

Kita sampe depan kelas, terus pas mau masuk, ada orang bolak-balik foto-foto sekelilingnya pake iPhone gitu.


"Tuh orang ngapain dah?"

"Nge-Instagram kali, kalo gak ya nge-Path," jawab Ryan.
"Heboh amat dah, sampe segitunya."
"Biasalah, namanya juga anak-anak socmed,"
"Iya juga sih."

Gue perhatiin, orang-orang yang sering aktif di social media, gak selalu lebih gaul di kehidupan asli. Ya ada juga sih, yang seimbang atau sama aktifnya, tapi kebanyakan kok ya kayak gitu. Gue sih mendingan biasa aja, toh yang penting hubungan benerannya. Gue juga gak gaptek-gaptek amat, gue pake Blackberry, dan punya iPod juga. Dan sekarang gue agak ngantuk karena abis begadang ngerjain tugas yang menumpuk, so gue pasang iPod gue sambil nunggu kelas mulai, shuffle, terus merem. It always feels good.


*****************************************


Pulang, kebetulan gue lagi nyetir Jazz, hape gue bunyi. The caller ID shows this name: Nadia. Ah iya, gue lupa bilang, gue udah punya pacar sejak kelas dua SMA, dia adek kelas. Sekarang dia kelas tiga, dan gue udah kuliah. Thankfully we're still going strong. Gue ngangkat telpon, ternyata dia ngajak jalan. Hari Jum'at atau Sabtu besok. Itu berarti awal bulan, dan awal bulan berarti gue ditransfer duit lagi di rekening gue. Yay. Berarti bisa jalan!

Eh? Apa? Gue kaya? Ya iya, tapi bukan berarti gue bisa foya-foya toh? Gue dikasih budget minimalis setiap bulan, kecuali keperluan mendadak. Biar gue gak manja dan tergantung ortu juga, walaupun dari jumlahnya memang belum bisa nabung gede banget.


Setelah nyampe rumah yang kebetulan memang deket dengan kampus, gue ngerjain semua tugas yang dikasih hari itu juga. Abis itu, gue bingung mau ngapain. Jam 4 sore. Setelah ngulik-ngulik gitar dan iseng-iseng nyanyi sekaligus latian buat audisi pensi kampus esok hari(kebetulan gue diajakin kakak kelas), akhirnya gue ketiduran.

Lalu gue bangun.


*ngeliat jam di sebelah tempat tidur*


Jam 10.


"Yah, kelewatan deadline."


Gue lupa ngirim tugas ke Pak Juanda.



DARWIS
Sekarang aku hanya ingin fokus kuliah. Kebetulan pagi ini kutemukan pengumuman di mading ada beasiswa S-2 Social Science di University of California, Berkeley. Kuikutilah segala persyaratan beasiswa itu. Hasil beasiswa itu akan diumumkan 2 minggu kedepan. Aku masih penasaran apakah sasha sudah terlanjur membaca puisi itu ? 2 minggu berselang hari yang ditunggupun tiba pengumuman beasiswa telah keluar. Alhamdulillah aku mendapatkan beasiswa itu! Aku sudah terlanjur berjanji untuk mentraktir teman-temanku makan karena aku berhasil mendapatkan beasiswa itu. Akhirnya kuajak teman-temanku pergi ke Langsat Corner, sebuah restoran elit di bilangan Jakarta selatan. Tak terasa hari sudah malam, aku langsung pulang ke apartemenku untuk tidur. Keesokan harinya, pagi datang dengan sinar yang redup aku bangun dengan keadaan yang kurang segar, aku sangat terkejut ketika melihat dibalik selimut aku sudah tidak berpakaian samasekali. Aku bingung apa yang sebenarnya terjadi seingatku semalam aku memakai baju tidur lengkap hingga akhirnya dalam kepanikan kutemukan laptopku terbuka dan ada sebuah pesan:

         Halo Sayang..
Kamu kaget ya? Terima kasih buat segalanya tadi malam. Semua adegan panas kita sudah ku abadikan. Kalau kau tidak mau foto-foto kita tersebar di internet, maka kirimkan US$20.000 ke rekening yang tertera di bawah dan jangan coba-coba lapor polisi. I'm always watching you babe...
-Ms Deborah Christina-

Kakiku lemas, aku bingung harus berbuat apa, akhirnya aku lapor polisi saja secara diam-diam. Lalu pak inspektur menyuruhku test darah. Setelah test darah selesai aku ruang dokter untuk melihat hasilnya. "dik, dari hasil general check up. Kamu.......uhuk mohon maaf dengan sangat menyesal saya harus memberitahukan bahwa..........kamu positif mengidap HIV....sepertinya wanita yang meniduri kamu telah menyuntikmu dengan serum virus HIV!!!! Aku hancur. Tak ada lagi harapan. aku pulang dengan lesu. di perjalanan pulang aku menerima telpon, putriku tewas tertabrak kereta saat pulang dari sekolah. Mendengar berita itu, Atikah panik dan menyuruhku segera pulang. Sekarang aku gila karena harus menenangkan Atikah sembari menyembunyikan berita bahwa aku sekarang mengidap HIV.  Hingga tiba-tiba alarm bernada gamelan jawa dari Handphoneku berdering. Ternyata aku hanya mimpi selama ini. Sepertinya aku tidur terlalu lama, aku terbangun dan kembali ke kehidupan normalku. Aku tidak mengidap HIV, Ms. Deborah yang kejam itu tidak ada, aku tidak mendapat beasiswa apapun dan aku tidak menikahi siapapun. Aku hanya mahasiswa biasa yang karena terlalu dibayang-bayangi wanita yang disayanginya yang ia terpisah jarak begitu jauh dengannya hingga semua terakumulasi menjadi mimpi.
********************************
Sepertinya aku butuh mengistirahatkan pikiranku yang rasanya semakin kacau saja. Aku putuskan untuk sejenak melepas lelah dengan berjalan-jalan berkeliling kampus, saat sedang asiknya mengelilingi kampus, aku mendengar ada alunan suara sebuah lagu, kurasa itu lagu dari Metallica tapi aku lupa judulnya. Aku tertarik untuk menghampiri sumber suara. Di dalam rupanya ada sekelompok mahasiswa dan mahasiswi yang sedang menonton seseorang bermain gitar elektrik. Aku duduk di kursi penonton dibelakang mereka yang duduk dikarpet untuk menikmati pertunjukan kecil itu. Setelah duduk barulah kusadari ternyata yang sedang bermain gitar tersebut adalah laki-laki bermatabola biru yang dulu pernah menabrakku saat aku sedang memandangi Sasha untuk pertama kali.

JOSEPH
Sambil gw berbaring dikasur, tiba-tiba HP gw berdenting... Ada yang mention gw di twitter. "Dicari, mahasiswa semester pertama yang memiliki bakat dalam bermusik untuk tampil pada acara pensi Univ. Jakarta yang akan datang!", account twitter gw ditulis dalam tweet tersebut. Wah, keren juga, pikir gw. Lumayan juga, bisa pamer dikit deh, akhirnya. Tetapi, gw tiba-tiba merasa sedikit takut, gimana nanti kalau ternyata ada yang lebih ahli daripada gw? Nanti gw diejek-ejek, "Ah, payah lu mah. Udah, lu gak usah ikut deh!", I may never have said this before, but I'm quite the insecure person sometimes. mungkin gw cuma berlebih-lebihan, walaupun begitu tetep aja ada rasa khawatir.  Gw RT aja tuh tweet, gw kasih caption "Ada yang tertarik?" Tak lama berselang gw pun akhirnya terlelap.

Keesokan harinya, gw dibangunin sama Zoey. Oh yes, I forgot to tell you, I have younger sisters, THREE younger sisters, si kembar Zoey & Claire, sama yang paling kecil namanya Eri. Kebetulan si Zoey lagi semangat banget, gw dibangunin pakai ditabok. "ABANG! bangung bang, buruan latian gih!, kampus lo kan mau pensi!". Duh ini bocah, wong pensinya aja masih lama, pikir gw. "Etdah, ngapain dah lu, masih lama juga tuh acara, dan gw belum pasti ikut, sana minggir gw mau tidur lagi!" "Ceileh mentang-mentang kuliahan jadi suka tidur tengah malem nih ye.." tandas-nya, "Udeh ah jadi gak bisa tidur gw! mending bantuin gw beresin laptop." "LHA LO KIRA GW SERVANT LO YA?" "Kalau gitu ngapain jadi alarm gw tadi?"

Akhirnya gw datang pagi-pagi ke kampus. Ketika gw keluar parkiran barulah gw liat sebuah poster, yang mengkonfirmasi mention tweet gw kemarin. Di poster tersebut gw akhirnya tau dimana harus ngumpul bagi yang ingin berpartisipasi. Ini bukan semacem audisi atau pengujian dulu baru bisa masuk, yang ingin ikut boleh masuk, berbakat ataupun tidak. Gw akhirnya sampai didepan ruangan aula yang cukup besar di lantai tiga kampus, dan gw masuk. Disitu ada staf yang menunggu para pendaftar. Tanpa pikir panjang pun gw langsung saja mendaftar. Ternyata gw adalah pendaftar pertama, gw pikir kayaknya bakal sepi pendaftar, namun perkiraan gw ternyata salah. Persis gw keluar, ada seorang anak kampus, cowok, berambot gondrong, badan berisi, kira-kira beda 6 atau 7 cm, berpapasan dengan gw ketika gw berjalan menjauhi aula tempat pendaftaran tadi, dan dia memasuki ruangan pendaftaran tersebut.

Siang menjelang sore, gw udah gak ada kelas lagi, gw di-SMS sama staf pendaftaran agar segera berkumpul di ruangan aula lantai 3, karena akan ada semacem... perkenalan dan unjuk bakat gitu deh. Segera gw kebut diri gw menuju aula yang tadi, dan dengan gaya santai, masuk kedalem. Sebenarnya mungkin gw agak kecepetan, karena menurut informasi yang gw terima tadi, ternyata ngumpulnya jam 3, dan sekarang masih jam 2, tetapi karena gw sudah terlanjur masuk ya ngapain juga keluar, gak ada kerjaan. Ternyata, bukan gw doang yang sudah berada disana, didalam aula tersebut ada sekitar 4 orang. Satu orang sedang bermain gitar, sementara yang lainnya menonton. Yang lagi main gitar adalah anak yang pagi tadi berpapasan sama gw, yang lagi menonton ada dua cewek dan satu cowok. Yauda, gw pun ikut nonton, tetapi sambil berdiri sementara yang lain duduk di karpet, dan yang main gitar duduk dikursi. Lumayan juga mainnya, pikir gw. Tidak lama waktu berlalu dan pertunjukan kecil itu berakhir, semuanya memberikan applause yang cukup meriah. Tanpa basa-basi, kita semua langsung memperkenalkan diri. Yang main gitar tadi namanya Raymond, biasa dipanggil Ray, berkeahlian main gitar dan bernyanyi, cowok satu lagi namanya Ghazi, suka bermain drum. Yang cewek namanya Anita dan Shel, Anita senang bermain bass gitar dan Shel bisa main keyboard. Sembari ngobrol, gw iseng-iseng nanya,

"Boleh lah, sedikit unjuk bakat, mumpung belum ada stafnya," kata gw.
"Emm... boleh sih... tapi gue gak usah ya, tadi kan udah... ", jawab Ray.
"Ya lu gak usah, Ray, yang laen aja...". bales gw.
"E-eh, seriusan...?", tanya Shel, sedikit bergetar.
"Yaiyalah masa gw gak serius....", bales gw.
Dan mulai lah satu persatu dari Anita, Shel, dan Ghazi. Masing-masing sudah cukup bisa dalam bermain alat musiknya masing-masing, walaupun sebenarnya masih terlihat kurang berani. "Nah, ayo Jo, elu sekarang yang unjuk gigi...", tiba-tiba kata Ghazi.
Oke, buat gw yang sudah biasa bermain musik, tidak ada masalah. Gw melihat keseluruh mencari alat musik kesayangan gw, gitar elektrik. Mulai dari drum, gitar akustik, bass, keyboard, tetapi tidak terlihat bentuk yang sangat gw suka. "Loh, nyari apa Jo? Jangan bilang bisanya cuma main gendang lagi...", canda Ray.
"Gak... gw daritadi gak nemu alat musik yang pengen gw mainin." jawab gw.

Sebenarnya, gw tinggal mainin aja salah satu alat musik yang ada, toh gw bisa semua (lagi-lagi self-promote, beneran Jo, stop it). Walaupun begitu tetep aja gw lebih prefer yang namanya gitar elektrik, alat musik yang sangat gw gemari."Sayang sih gak ada gitar elektrik...", kata gw. Akhirnya gw bergerak untuk mengambil gitar akustik yang tadi dipakai Ray, tetapi gw dihentikan oleh Anita. "Eh, kalau gitar elektrik ada tuh didalem lemari, kata senior memang boleh dipakai kok, itu punya kampus." katanya.

Mulailah hati gw kegirangan, tetapi gw tetap menjaga ke-santai-an gw, biar gak salah image. Didalem lemari tersebut, ada sebuah gitar elektrik Les-Paul, lengkap dengan amplifier Roland 30X dan kabel jack. Lumayan, amplifier-nya fleksibel dan gampang disetting, tidak seperti amplifier gw dicampur berbagai macam efek gitar yang ada dirumah. Gw pasang itu perangkat gitar elektrik, dan mulailah gw bermain sebuah solo gitar dari lagu Master of Puppets, dan gw lanjutkan dengan riff setelah solonya. Sambil gw teruskan permainan gitar gw, sedikit-sedikit gw ngelirik kearah Ray dan kawan-kawan. Gw pelan-pelan sadar kalau Ray, Anita, Shel, dan Ghazi, terdiam tanpa suara, terkaget-kaget, melongo, melihat permainan gitar gw yang bisa dibilang, tidak biasa. Dan tanpa gw sadari, Darwis pun ikut menonton ternyata, sedang duduk dikursi dibelakang yang lain.

SASHA
“Kamu suka kue, Sasha?”
Wajah Angelo adalah yang pertama terlihat begitu aku kusadari aku kembali berada di bar Sicily. Masih menggenggam buku biografi Stalin, dan sebotol Coca Cola. Suara terompet dan piano masih mengalun dengan lembut, mengisi malam yang bersiul pelan.
“Mmm, ya. Aku suka kue,”jawabku, melihat Angelo berjalan memunggungiku, mencari sesuatu di dalam laci.
“Ada suatu kue, yang apabila namanya diterjemahkan secara harfiah memiliki arti “pick-me-up”—ayo angkat aku. Namun, secara metafora, sesungguhnya itu sebuah kiasan untuk ungkapan “makes me happy”, yang berarti membawa kebahagiaan bagi pemakannya,”Angelo berjalan menuju sebuah laci pendingin.
“Ooh,”jawabku singkat. Tidak mendapatkan ucapan yang tepat untuk merespon ucapan Angelo barusan.
“Dan kulihat daritadi dirimu melamun, dengan muka yang masam. Ada apakah gerangan?”tanyanya ramah, dia membungkukkan badannya lebih rendah dari meja bar sehingga tidak dapat kulihat wajahnya.
“Hmm….sepertinya aku hanya jenuh menunggu ayahku yang sedang bekerja. Itu saja,”jawabku apa adanya.
“Kalau begitu, kamu harus makan kue “makes me happy” ini, tiramisu,”Angelo meletakkan piring dengan potongan besar tiramisu,”Kutraktir.”
Lapisan krim tebal serta biscuit dengan bubuhan kopi teronggok di atas piring putih kecil. Kutatap muka Angelo yang tersenyum manis saat ia menyodorkan sendok logam kecil yang berukir.
“Kue ini termasuk al cucchiaio, makanan yang harus dimakan dengan sendok,”ia meletakkan sendok itu di sisi piring.”Wajah manis seperti wajahmu, tidak cocok kalau dipasangkan cemberut yang daritadi terpasang di bibirmu.”
Dasar pria gombal.
Ucapan Angelo kuanggap sebagai pujian. Dan aku adalah orang yang senang sekali—kalian tidak mengerti, aku benar-benar SENANG SEKALI—kalau mendapat pujian.
“Grazie!”seruku senang, memasukkan sesendok besar potongan krim beserta biscuit ke dalam mulut kecilku.
Perbincangan kami—percampuran Bahasa Inggris, sedikit Italia, dan sedikit Prancis—berjalan mulus dan dengan rakus mnghabiskan waktu malam dan tanpa sadar sudah menghabiskan 3 mangkok besar yang masing-masing berisi 60 menit. Ya, sudah tiga jam kami berbicara mengenai hal-hal yang tidak dapat aku ingat, karena satu-satunya yang kuingat adalah wajah hangat Angelo, dengan senyum yang tak pernah lepas dari bibirnya, yang membuatku nyaman menghabiskan waktuku berjam-jam lamanya. Kue dan Coca Cola ku sudah habis tak bersisa sejak beberapa puluh menit yang lalu, tamu-tamu bar—para pria paruh baya—datang silih berganti menggantikan para tamu yang pergi, dan musik pun semakin lama semakin pelan terdengar dan akhirnya berhenti begitu saja.
“Ini sudah malam, Sasha. Bukankah sebaiknya kamu pulang?”Tanya Angelo begitu dia menyadari bahwa waktu telah menunjukkan pukul 10 malam lewat. 
“Aku menunggu ayahku menjemput,”jawabku sambil melirik ke arah pintu.”Dan itu ayahku sudah datang.”
Dengan langkah yang tegap seperti biasanya, ayah menghampiri dan kemudian mencium puncak kepalaku.”Maaf sudah membuatmu menunggu lama. Pertemuan barusan lama sekali. Ayah juga berharap pertemuannya cepat selesai.”
“Tidak apa-apa, Yah. Ngomong-ngomong, Yah, ini Angelo. Dia menemaniku sejak tadi,”kuperkenalkan Angelo kepada ayah. Dengan ramah ayah mengulurkan tangannya kepada Angelo yang kemudian disambut dengan ramah pula.
“Grazie sudah menemani putriku menghabiskan waktunya di sini. Mi chiamo Buana,”ayah melirik iseng ke arahku,”dia tidak nakal kan?”
Angelo tertawa renyah, memamerkan barisan gigi putihnya yang sempurna,”Tentu tidak, Signor. Putri anda adalah anak yang baik.”
“Ya, memang Sasha ini adalah anak yang baik,”ayah menepuk dan mengelus kepalaku.
Kemudian kulihat ayah dan Angelo mengurus bon minuman yang kupesan malam ini. Setelah ayah menyerahkan dua lembar uang dan mengatakan “ambil kembaliannya untukmu” yang dibalas dengan ucapan terima kasih banyak dalam Bahasa Italia, ayah kembali mengalihkan perhatiannya padaku.
“Siap untuk pulang sekarang, Cantik?”
“Ya, aku sudah mulai merasa mengantuk,”jawabku yang kemudian langsung menguap di saat itu juga.
“Oke, ayo kita pulang sekarang,”ayah membantuku turun dari kursi bar yang tinggi, yang tingginya nyaris melebihi tinggi badanku,”Bilang selamat malam pada Angelo.”
“Buona sera, Angelo,”kataku sambil melambaikan tangan pelan kepada Angelo.
“Buona sera, Sasha,”jawab Angelo sambil membalas lambaian tanganku,”Sleep tight.”
Setelah mengangguk sopan ke arah Angelo, ayah menggandeng tanganku berjalan keluar dari bar. Agak bersusah payah aku mensejajari langkah kecilku dengan langkah ayah yang lebar. Ditambah dengan rasa kantuk yang tiba-tiba merasuk merajai, membuatku sulit berkonsentrasi, sulit menjaga kesadaran.
Dan tampaknya ayah menyadari itu.
“Ngantuk sekali ya, Nak? Mau ayah gendong?”tanyanya sambil berhenti melangkah, melihat khawatir ke arahku.
Aku hanya mengangguk pelan sambil mengusap-usap mataku yang mulai buram.
Ayah melepaskan tangannya dari tanganku, dan tiba-tiba aku sudah berada di dalam gendongannya. Ayah kemudian melanjutkan berjalan menuju “camp” kami di Sicily.
“Dasar bocah, baru umur 7 tahun band kesukaannya sudah Aerosmith—“ 
Itu kata-kata ayah yang berhasil kutangkap, sisanya? Aku sudah terlelap.

Aku membuka mata tepat tiga detik sebelum akhirnya Beethoven Symphony No. 5:1 dari handphone ku memeriahkan suasana kamar yang sebelumnya sunyi. Setelah memaksa alarm handphone untuk ikut menikmati keheningan kamar, butuh waktu hampir 15 menit bagiku sampai akhirnya benar-benar bangun dari tempat tidur. Melakukan ritual pagi seperti orang kebanyakan, mengecup pipi ayah sebelum aku berangkat, dan mengeluarkan sepedaku dari garasi camp Jakarta, kukayuh sepedaku menuju kampus yang jaraknya hanya 20 menit bersepeda.

********************************

Usai sudah urusanku hari ini di kampus, seruku girang dalam hati sesaat setelah kelas terakhirku hari ini selesai. Dengan langkah ringan aku berjalan menuju tempatku memarkir dan menggembok ganda sepedaku tercinta.

Tunggu.
Bunyi apa itu?
Samar-samar terdengar suara ribut dari dalam gedung di seberang tempatku memarkirkan sepeda. Suaranya tampak tidak begitu asing, kalau telingamu dipasang dengan baik. Ini suara alat musik, ya alat musik, mungkin gitar elektrik. Suara gitar elektrik memainkan lagu……Metallica?
Dengan rasa penasaran, aku berjalan mendekati gedung asal suara tersebut. Semakin aku berjalan mendekat, semakin jelas suara yang kudengar. Sekarang aku yakin, ia memang memainkan lagu Metallica.
Aku mengintip ke dalam melalui pintu kaca. Bagus, tidak kelihatan.
Haruskah aku masuk ke dalam? Siapa gerangan yang memainkan Master of Puppets sesaat tadi?
Friday, July 12, 2013 with 0 comments
Silau. Gue ngebuka mata. Oh, ternyata udah pagi. Tapi... suasananya kok gak kayak jam 6 pagi ya?

*ngeliat jam weker di meja samping tempat tidur*

"Damn! Udah jam 8? Telat ospek deh!" Gue langsung loncat dari tempat tidur, nyamber handuk, mandi. Selesai mandi dan pake kaos+jeans+jaket jeans agak belel gue, langsung cao ke kampus pake vespa kesayangan, karena Jazz gue lagi di-service di bengkel. Helm gue lepas, dan gue membiarkan rambut gue yang agak gondrong dan masih basah bekas keramas dikeringkan oleh tenaga alam.

Walhasil, telat, dimarahin senior deh.

********************

Itu pengalaman pagi pertama gue di Universitas Jakarta, sebagai seorang maba di jurusan Komunikasi. Kenalin, gue Raymond Tamzil. Panggil aja Ray.

Gue anak dari bokap gue, Saleh Tjokronegoro Tamzil dan nyokap gue, Diana Tamzil. Gue alhamdulillah hidup berkecukupan bahkan lebih, berkat Tuhan yang menyalurkan rezekinya lewat bokap gue dan perusahaan telekomunikasinya yang cukup besar.

Gue punya dua kakak, satu adik. Si kakak cewek, namanya Aisyah Salsabila Tamzil. Dia kuliah Manajemen di Universitas Jakarta juga, tapi dia udah mau masuk tahun ke-3. Si kakak cowok, Thomas Desmond Tamzil. Dia udah kerja di perusahaan bokap gue, bagian IT gitu. Hampir tunangan sama pacarnya, tinggal nunggu waktu. Dan adek gue, cewek, kelas 2 SMA, Sarah Putri Tamzil. Dia anaknya kreatif2 gitu, agak hipster+indie lah.

Hobi gue banyak. Gue seneng musik, walaupun lebih ke ngedengerin daripada mainin, kecuali nyanyi. Gue suka nyanyi. Selain di kamar mandi, gue daridulu sering nyanyi di acara sekolah atau lomba. Dan gue lebih seneng solo dan di-backing daripada sama band, kayak Glenn Fredly & The Bakucakar gitu. Gue juga pernah ngebantuin temen gue di band-nya sebagai bassist. Gue juga suka lari, walaupun cuma sekadar olahraga rutin supaya sehat, gak nyampe jadi sprinter macam Usain Bolt gitu. Baca komik dan main board games juga sering.

Why Communication Studies? Karena bokap gue bilang kalo gue dibutuhin buat megang bidang itu nanti di perusahaan dia, then so be it. Walaupun gue sebenernya lebih pengen kuliah ke luar negeri, tapi ortu maunya gue kuliah di Universitas Jakarta, almamater mereka. Gapapalah, toh keinginan gue selama ini udah banyak dipenuhi. Lagipula tempat dan kualitas pendidikannya saat ini nomor wahid di Indonesia, so why not?
with 0 comments
SASHA        
Malam yang dingin, angin bertiup pelan hingga menimbulkan sedikit siulan. Alunan merdu terompet dan piano sebagai pembuka, membuat diri menyadari akan ruang dan situasi. Sebuah bar—bukan bar murahan dengan pemabuk yang bisa mengamuk kapan saja dan pelacur yang duduk di setiap sudut meja—yang tidak terlalu ramai, berisi dengan para pria paruh baya kelas menengah ke atas yang sedang menikmati segelas whisky atau brandy seusai kerja. Semua berpakaian rapi, setidaknya dengan kemeja dan celana panjang bahan, menenggak minuman beralkohol mereka dari gelas Kristal sambil berbincang satu sama lain mengenai ekonomi, politik, masalah rumah tangga, entah aku tak tahu. Sedangkan aku, dengan pakaianku yaitu kaos katun berlogo band favorit—saat itu Aerosmith—dan celana jeans, tak lupa jaket jeans ku yang menggantung di kursi, ditemani dengan sebotol Coca Cola. Kusadari aku duduk di meja bar dan membaca sebuah buku……biografi Stalin? 
“Mi scusi. Vedo che stai leggendo un libro su Stalin,”sebuah suara alto dengan nada ramah dari seberang meja bar. Aku mendongakan kepala. 
Wajah ramah dan hangat menyambut tatapan mataku. Seorang pemuda, mungkin di dua decade awal hidupnya, dengan rambut hitam pekat yang tersisir rapi ke belakang dan kumis serta jenggot yang dipotong pendek rapi mempertegas bentuk mukanya. Keindahan matanya tidak bisa disembunyikan oleh kacamata yang tergantung di hidungnya yang mancung. Pemuda itu tersenyum,”Non è troppo complicato per te?” 
Sejenak aku tergagap,”ee……non parlo Italiano—saya tidak bisa berbahasa Italia—parla Inglese?” 
Aku harap dia bisa berbahasa Inggris, karena hanya itulah Bahasa Italia yang kuketahui sejauh ini. 
Oh, yes of course. Tapi bahasa Inggris ku tidak bagus,”jawab pemuda itu tanpa kehilangan senyum di bibirnya.”Dan mungkin saya bisa mengajarkan kamu sedikit Bahasa Italia?” 
Aku tersenyum lebar,”Si, si!” 
Dia tertawa,”Great. Mi chiamo Angelo. Nama saya Angelo,”dia mengulurkan tangannya padaku. 
Kujabat tangannya, tak kusangka tangannya jauh lebih lebar dari tanganku. 
“Come si chiama? Nama kamu siapa?”Tanyanya sambil menggenggam tanganku yang ada di dalam tangannya. 
“Nama saya Abhilasha,”senyum mengembang di bibirku.”Tapi biasa dipanggil Sasha.” 
“Piacere di conoscerla, Sasha. It’s nice to meet you,”jawabnya. 
“Ya, aku juga.” 
“Kamu mendapat waktu yang menyenangkan di sini?”Tanya Angelo, mulai mengelap beberapa gelas. Tampak dengan sangat jelas di adalah bartender bar ini, namun sepertinya bukan dia yang memberikan botol Coca Cola ku tadi, atau aku hanya kurang memperhatikan? 
“Hm, ya. Aku baru beberapa hari ini tinggal di Sicily. Ayahku sedang mempelajari sejarah kehidupan mafia di sini,”jawabku sambil menghirup minumanku dari sedotan. 
“Sepertinya menyenangkan. Ayahmu tidak takut pembelajarannya menyinggung seseorang di kota ini?”Tanyanya sambil tetap mengelap beberapa gelas, kemudian menaruhnya di rak. 
Kututup buku yang sebelumnya kubaca,”tentu tidak, ayahku orang yag sangat berhati-hati. Selama ini dia selalu baik-baik saja.”

Beethoven’s Symphony No. 5:1 mengalun kencang dari speaker handphone menarikku kembali ke alam sadar. Dengan terkejut aku melompat terbangun, dan menemukan jam yang sudah menunjukkan hampir pukul 9 pagi.
Aku kesiangan!

DARWIS
Aku telah memilih. Aku memilih Atikah. Aku putuskan untuk kembali ke probolinggo, dengan tujuan tak lain dan tak bukan menjenguk Atikah secara diam-diam. Ku berangkat menggunakan kereta argo bromo. Sampailah aku di probolinggo kemudian aku cari-cari Atikah. Sebelum sempat keluar stasiun aku melihat Atikah sedang duduk sendirian di bangku taman stasiun. Rupanya dia masih cantik, sama seperti dulu. Cantik tanpa dandan. Itu yang membuatku suka bukan kepalang padanya. Dia duduk di bangku putih panjang di atas bukit rumput hijau nun empuk sambil membaca novel kecil. Papilio Blumei, kupu-kupu tropis yang menawan berwarna hitam bergaris biru-hijau itu menghinggapi kepala Atikah, Atikah tak mengusirnya, justru itu membuatnya tampak semakin anggun. Sosoknya semakin cantik karena kehadiran kupu-kupu kuning berbintik metalik yang disebut pure clouded yellow. Dua jenis bidadari taman itu melayang-layang tanpa bobot bersuka cita di atas kepala Atikah.  Kucoba dekati dia, entah mengapa rasa deg2an yang kurasakan setiap mendekatinya  dulu saat SMA kembali menyerangku saat kucoba mendekatinya saat ini. “Uhukk.. emm Selamat Sore”sapaku pelan. “………….da da darwis kaukah darwis?” jawabnya terbata-bata sekaligus terkejut seakan tak percaya. ”Ya, ini saya, Darwis. Muhammad Darwis.”jawabku meyakinkannya. Tanpa mengeluarkan sepatah kata apapun, dia langsung memelukku dengan sangat eratnya seperti seorang Ibu yang akhirnya bertemu dengan anaknya setelah terpisah 20 tahun lamanya. Pelukannya begitu hangat kurasakan. Hingga akhirnya ia lepaskan pelukan itu dan berkata, “aku masih menyimpan harap padamu wis. Sengaja kutinggalkan ayah bundaku demi kamu. Selamanya kau akan tetap ada di sini” tegasnya sambil menunjuk hatinya. Seperti layaknya sesuatu yang sederhana, maka tragedi atau drama semacam opera sabun tak pernah terjadi dalam hidup Atikah. Gadis itu demikan teduh dalam kiprahnya, tenang dalam kesahajaannya, dan tenteram dalam kesederhanaannya.
Kamipun memutuskan untuk menikah.Dua minggu setelah pertemuan itu kamipun menikah. Kemudian kami berbulan madu di Jogja di sinilah kami pertama kali bertemu. Singkat cerita, akupun kembali melanjutkan studiku di Jakarta. Selang 5 bulan, aku menapat telepon dari Probolinggo bahwa Atikah melahirkan putri pertama kami. Kuberi nama dia Mesha Andriana Qurani.

JOSEPH
Feeling gw hari ini agak berasa gak enak, gak tau kenapa, bukan karena gw sakit atau apa, cuma perasaan doang. Akhirnya, gw tancap gas ke kampus dengan Ford Escape tua gw. Eh? gw belum cerita kalau gw punya mobil ya? Hahaha sori2, like I said before, gw datang dari keluarga yang (sebetulnya) sangat mampu. Itu mobil memang umurnya sudah tua, ada saat dimana pengen  gw tuker tambah, tapi mobil tersebut memiliki banyak kenangan, sayang kalo gw tuker ama mobil lain. Seperti biasa, gw sampai dikampus sejam lebih awal sebelum jam kuliah gw mulai, dan seperti biasa gw berusaha mengusir kebosanan dengan main HP, buka laptop, dan sebagainya. Tidak ada yang janggal selama pagi ini, tetapi tetep aja gw berperasaan gak enak, seperti ada sesuatu yang akan terjadi nanti siang. Akhirnya jam kuliah gw mulai, tetapi dosen gw malah sakit dan tidak mengajar alias absen. Gw dan teman-teman kelas gw nungguin dosen pengganti, dan tak ada seorang dosen pun masuk dan mengajar. Sambil terdiam terbosankan, tiba-tiba ada staf kampus datang dan memberitahukan tugas dari dosen gw. Yasudah, gw kerjakan assignment tersebut, sambil ngintip-diintip ama teman-teman gw yang lain. "Biar cepet selesai lah, abis itu bisa main keluar kan!", tandas salah satu anak kelas gw. Ini adalah hal biasa yang gw kerjakan, dari SD sampai sekarang, kalau dikasih tugas saling kasih kerjaan sendiri. Setelah selesa gw ngerjain tugas gw, Akhirnya gw pergi keluar, dan gw duduk terlena di pinggir-pinggir koridor. Sepi rasanya, walaupun gw bisa dengar suara dari kelas gw yang... kira-kira agak jauh dari posisi gw sekarang.

Feeling gw udah mulai gak enak lagi. Gw juga gatau gw lagi kenapa, tapi gw gak sakit atau depresi gitu. Dan tiba-tiba gw mendengar suara yang cukup familiar di telinga gw. "Jo...?", katanya lembut. Gw otomatis menoleh ke arah suara tersebut, awalnya gw masih belum terlalu fokus, jadi gw belum bisa memastikan siapa orang yang memanggil gw. "Jo..? Lagi ngapain? Kok diem?", Pada saat itulah gw langsung terbelakak melihat sosok yang memanggil gw tersebut. Apalagi suara cemprengnya bikin gw makin kaget. Ngapain cewek yang gw demen dulu tiba-tiba nongol dikampus gw? Gw bales aja langsung, "Yah, biasa deh gw, ngaso, disitu ribut sih.". Masih dalam kebingungan, entah gimana ceritanya, gw  bisa ngobrol ama dia. Oke, ini weird, bisa gitu tiba-tiba cewek yang sudah lama gak ketemu tiba-tiba ngobrol akrab...? "Eh, Jo... masih single?", Makin bingung lah gw, kok,ditanya tentang status gw tiba-tiba. Disaat mau gw bilang tidak... (Gw sebenernya sedikit ngarep dia ada rasa ama gw, tapi selama ini gak gw pikirin), Gw diguncang dengan dorongan hebat yang datang tak lain dari Ujang, temen gw yang terlalu "bahagia" itu.

"Woy! Elu malah ngelamun aja dahh... Sini ikut gw! Ada yang ribut tuh!", dengan suaranya yang toa. Ketika itulah gw sadar bahwa sebenarnya kejadian yang gw alami tadi hanya halusinasi belaka. Kecewa sih, tapi namanya juga mimpi, datang darimana juga gak ada yang tau. Ditarik lah gw sama Ujang menuju bagian belakang kampus, sambil berlari sedikit. Benar, ada sekitar dua anak baru adu jotos. Yeee, masih anak baru udah cari masalah, pikir gw. Sambil dikelilingi kerumunan, anak-anak tersebut saling hajar dan menendang. Mau ketawa sih gw, cara berantemnya kayak anak kecil, maklum gw udah menguasai Jeet Kune Do (iyedah mulai self-promotion lagi, dasar lu Jo), melihat yang seperti ini belum bisa dibandingkan dengan the real fight. Jadi perasaan gak enak gw berasal dari sini mungkin? "Gimana tuh, tontonin aja atau mau di-stop aja?" tanya Ujang. Bisa sih gw hentikan, cuma masih anak baru sih, gw gak mau nyari masalah... Jadi dari jauh, gw dan Ujang cuma memperhatikan saja, sambil kebingungan garuk-garuk kepala.
with 0 comments
Hai. Aku Abhilasha Darmabatari, kalian boleh panggil aku Sasha. Aku sekarang berumur 17 tahun dan baru saja lulus dari sebuah sekolah yang tidak bisa disebut sebagai sekolah, karena selama ini aku hanya belajar dengan sebuah computer. Ya, aku adalah seorang lulusan sebuah home-school, karena aku tinggal berpindah-pindah mengikuti orang tua—well,hanya seorang ayah—yang selama lebih dari tiga dekade hidupnya berprofesi sebagai wartawan, peneliti dan pecinta antropologi. Ayahku, Buana Widraja, yang kini berusia 55 tahun, telah menjadi orangtua yang sangat baik untukku. Ibu meninggalkan kami saat aku masih berumur 4 tahun, meninggalkan anak dan suami yang sangat mengasihinya, karena alasan yang sampai sekarang tidak kami ketahui. Mulai di saat itu ayahku semakin menggilai pekerjaannya. Beliau menerima semua tawaran tanpa mempertimbangkannya, tidak seperti sebelumnya. Bisa dibilang, kini ayahku memiliki istri baru, yaitu pekerjaannya. Sejak saat itu ayahku membawaku serta saat ia melakukan pekerjaannya, dan rekor terlama kami untuk tinggal di suatu daerah adalah 3 bulan. Aku dan ayahku ini adalah sisa-sisa suku nomaden di tengah dunia yang semakin modern. Di umurku yang hampir menyentuh angka 18 ini, bisa dibilang aku sudah menginjakkan kaki di hampir dari ½  permukaan bumi.
Tanah kelahiran dan kewarganegaraanku adalah Indonesia, hanya namaku saja yang berasal dari India, Abhilasha. Abhilasha itu sendiri memiliki arti gairah; dimana arti nama itu cocok dengan diriku yang memang mempunyai motto hidup yaitu live your life the fullest. Aku memang sering membawa masalah—bukan masalah kriminal sih—dimana pun saat itu kami tinggal. Aku sering kali pergi berkeliaran sendiri di saat ayahku sedang melakukan pekerjaannya, dan bisa sampai 2 hari aku baru kembali ke camp—begitulah kami menyebut tempat tinggal kami dimanapun saat itu kami berada. Tenang, aku bukan anak-anak pengguna ataupun penganut hubungan suami istri secara bebas, lagipula dimana kalian bisa menemukan narkoba atau pasangan jika kalian sedang berada di daerah antah berantah. Sering kali ayah, rekan kerjanya, atau warga sekitar yang menemukanku; sedang menjelajahi goa keramat yang tidak sepantasnya dimasuki, berpesta dengan anak-anak suku di daerah tetangga, berada di dahan tertinggi pohon berumur ratusan tahun, dan sebagainya. Aku berulang kali berada di batas antara hidup dan mati; sudah dua kali aku aku terpeleset ke ujung jurang, sekali tercebur ke dalam sumur, sekali terjatuh dari pohon yang sedang kupanjat, dan sekali nyaris tertabrak kereta. Untung saja saat itu terjadi aku tidak sedang sendirian dalam penjelajahanku, dan lebih untungnya lagi, nywaku tidak terlepas dari ragaku. Sepertinya ada malaikat penjaga yang melindungiku, ya?
Aku menyelesaikan pendidikanku yang setara dengan Sekolah Menengah Atas itu selama aku berada di Kenya, saat ayahku sedang meliput upacara peralihan kedewasaan suku Maasai. Sekian lama sejak insiden kepergian ibuku, akhirnya aku dan ayahku kembali menginjakkan kaki di Indonesia, demi diriku yang akan mengenyam pendidikan di salah satu universitas terbaiknya, Universitas Jakarta. Aku akan mengambil pendidikan psikologi di universitas ini, demi membantu penelitian ayahku. Sekian lamanya aku tidak kembali di Indonesia, serta trauma akan masa lalu, membuatku kurang percaya diri untuk bisa kembali beradaptasi di sini.
Wednesday, July 10, 2013 with 0 comments
GrayStencil . Chocolettha . TFN . GWFOlder Post